Jumat, 05 Desember 2025

True Story yg ispirative: Kerinduan Seorang Ayah Berujung Di Pengadilan

Pagi itu Pengadilan Negeri Semarang dipenuhi hiruk-pikuk seperti biasa. Di antara kerumunan orang yg menunggu giliran, tampak seorang lelaki tua berambut putih mengenakan surjan dan blangkon lusuh. Tangannya yg keriput menggenggam erat selembar surat pengaduan. Matanya yang sayu sesekali menatap kosong ke arah pintu ruang sidang.
_"Bapak Sastro Wijoyo?"_ panggil petugas pengadilan.
Lelaki tua itu mengangguk pelan, lalu berjalan tertatih masuk ke ruang sidang. Hakim Ketua, Pak Bambang Suryanto, memperhatikannya dengan seksama. Di sampingnya duduk dua hakim anggota yang juga tampak penasaran.
_"Silakan duduk, Pak. Bapak mengajukan gugatan, ya? Terhadap siapa?"_ tanya Pak Bambang sambil membuka berkas.
_"Maaf, Pak Hakim. Saya menggugat anak saya sendiri. Namanya Arya Satria Wijoyo,"_ jawab Pak Sastro pelan, hampir berbisik.
Pak Bambang mengangkat alisnya, melirik sebentar ke arah rekan-rekannya yang juga tampak terkejut. Suasana ruang sidang mendadak hening.
_"Baik, Pak Sastro. Bisa dijelaskan, apa tuntutan Bapak?"_
Pak Sastro menarik napas panjang. _"Sederhana saja, Pak. Saya minta anak saya memberi nafkah bulanan sesuai kemampuannya."_
_"Oh, itu hak Bapak, kok. Secara hukum dan agama, anak wajib memberi nafkah kepada orang tua. Tidak perlu diperdebatkan lagi,"_ ujar Pak Bambang mantap.
_"Tapi, Pak Hakim..."_ Pak Sastro mengusap wajahnya yang tampak lelah. _"Saya sebenarnya mampu. Punya tanah warisan, punya rumah, tabungan juga ada. Saya tidak butuh uang."_
Ruangan kembali sunyi. Pak Bambang dan kedua hakim anggota saling berpandangan bingung.
_"Lalu maksud Bapak apa?"_ tanya Pak Bambang, kali ini dengan nada lebih lembut.
_"Saya cuma mau minta uang jajan dari anak saya, Pak. Berapa pun, terserah dia. Yang penting... ada."_
Pak Bambang tercenung. Ada sesuatu yang tidak biasa dari kasus ini. _"Baiklah. Kami akan memanggil anak Bapak. Tolong sebutkan alamatnya."_

Beberapa hari kemudian, sidang kedua digelar. Kali ini Arya Satria hadir—pria berusia empat puluhan, mengenakan kemeja batik lengan panjang dan celana bahan rapi. Wajahnya tampak tegang, bingung bercampur malu. Di sampingnya, Pak Sastro duduk dengan tatapan yang sulit diartikan.
_"Saudara Arya Satria Wijoyo?"_ Pak Bambang membuka sidang.
_"Benar, Pak Hakim."_
_"Apakah Bapak Sastro ini ayah Saudara?"_
_"Iya, Pak. Beliau bapak saya,"_ jawab Arya sambil menunduk.
_"Bapak Saudara mengajukan gugatan, meminta nafkah bulanan dari Saudara. Apa tanggapan Saudara?"_
Arya mengangkat wajahnya, menatap ayahnya sebentar, lalu kembali ke hakim. _"Pak Hakim, saya bingung. Bapak punya uang. Rumahnya besar, di Jalan Pandanaran. Punya sawah di Ungaran, beberapa kios di Johar juga. Kenapa tiba-tiba minta nafkah dari saya?"_
Pak Bambang menoleh ke Pak Sastro. _"Bagaimana, Pak?"_
_"Memang begitu, Pak Hakim. Tapi ini hak saya sebagai bapak, kan? Dan saya cuma minta sedikit,"_ ujar Pak Sastro tenang.
 _"Berapa yang Bapak minta?"_
_"Lima puluh ribu sebulan, Pak. Cukup."_
Seluruh ruangan terhenyak. Lima puluh ribu? Jumlah yang bahkan tidak cukup untuk makan sehari di kota seperti Semarang.
Arya geleng-geleng kepala. _"Pak Hakim, ini aneh. Lima puluh ribu itu... bahkan untuk ongkos ojek saja kurang."_
_"Tapi itulah maunya saya,"_ sergah Pak Sastro dengan suara yang mulai bergetar. _"Dan saya minta diserahkan langsung. Dari tangan kamu ke tangan saya. Tiap bulan. Tanpa perantara."_
Pak Bambang mulai memahami sesuatu. Tatapannya melembut.
_"Baiklah. Majelis hakim telah mendengar keterangan dari kedua pihak."_ Ia mengetuk palu pelan. _"Kami memutuskan: tergugat, Arya Satria Wijoyo, wajib memberikan nafkah bulanan kepada ayahnya, Sastro Wijoyo, sebesar lima puluh ribu rupiah, diserahkan langsung dari tangan ke tangan, setiap tanggal lima, seumur hidup ayahnya. Sidang ditutup."_
Arya terdiam. Pak Sastro mengangguk pelan, tangannya gemetar saat menerima salinan putusan.
Sebelum mereka berdiri, Pak Bambang mengangkat tangan. _"Tunggu dulu. Pak Sastro, boleh saya bertanya sesuatu?"_
Pak Sastro menoleh.
_"Kenapa Bapak sampai segini, Pak? Kenapa minta jumlah sekecil itu padahal Bapak tidak butuh?"_
Hening sesaat. Pak Sastro menarik napas panjang. Air matanya mulai membasahi pipi keriputnya.
_"Pak Hakim..."_ suaranya bergetar. _"Saya kangen sama anak saya. Sudah setahun lebih, kami tidak ketemu. Dia sibuk kerja, katanya. Telepon pun jarang. Padahal rumah kami cuma beda kelurahan. Saya tidak marah, Pak. Tapi hati saya sakit. Saya sudah tua. Entah berapa lama lagi saya bisa lihat wajahnya."_
Ruangan seperti kehilangan udara.
_"Saya tidak butuh uangnya, Pak Hakim. Saya cuma butuh dia datang. Walau cuma sebulan sekali. Walau cuma lima menit ngobrol di teras sambil serahkan uang lima puluh ribu itu... sudah cukup buat saya. Sudah cukup untuk bikin saya bahagia sampai bulan depan."_
Arya membeku. Wajahnya pucat. Tangannya mengepal di pangkuan.
Pak Bambang mengusap matanya. Kedua hakim anggota menunduk dalam-dalam. Beberapa orang di ruang sidang terisak pelan.
_"Ya Allah, Pak Sastro..."_ Pak Bambang menggeleng. _"Kalau dari awal Bapak bilang begini, saya akan hukum anak Bapak lebih berat. Saya akan masukkan penjara kalau perlu."_
Pak Sastro tersenyum tipis, meski air matanya terus mengalir. _"Tidak usah, Pak Hakim. Saya tidak mau sakiti hati anak saya. Keputusan ini saja sudah cukup. Saya cuma mau dia ingat... bahwa bapaknya masih hidup. Masih menunggu."_
Arya akhirnya menangis. Ia bangkit, berlutut di depan ayahnya, memeluk kaki tua yang sudah mulai lemah itu.
_"Maafkan saya, Pak. Maafkan Arya..."_
Pak Sastro mengelus kepala anaknya dengan tangan yang gemetar. _"Kamu tidak salah, Le. Bapak cuma kangen."_
Pak Bambang menutup berkasnya pelan, lalu berbisik kepada hakim anggota di sebelahnya. _"Semoga anak-anak kita tidak menunggu sampai ada putusan pengadilan untuk ingat orang tua mereka."_
Ruang sidang itu pagi itu dipenuhi isak tangis—bukan karena keadilan yang ditegakkan, tapi karena kerinduan yang terluka.
Sahabat Kisah,
*_Kadang, yang paling mahal bukan uang. Tapi waktu. Dan kadang, yang paling sakit bukan kemiskinan. Tapi dilupakan oleh orang yang kita cintai._*

Tidak ada komentar:

ABIOGRAFI NURDIN

ABIOGRAFI NURDIN
Klik Aja!

POSTINGAN UNGGULAN

"Quotes of the day" Pembina SMA 7 Wajo