Lontara’ adalah aksara tradisional masyarakat Bugis-Makassar. Lontara sendiri berasal dari kata lontar yang merupakan salah satu jenis tumbuhan yang ada di Sulawesi Selatan.
Istilah lontara juga mengacu pada literatur mengenai sejarah dan geneologi masyarakat Bugis, salah satunya terdapat pada Sure’ La Galigo.
Dari berbagai hasil penelitian bentuk dasar aksara Lontara berasal dari filosofis Sulapa’ Eppa Walasuji. Sulapa’ eppa (empat sisi) adalah bentuk mistis kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan unsur pembentukan manusia, yaitu api – air – angin – tanah.
Selain itu filosofi sulapa’ eppa juga bermakna arah empat pokok mata angin, yaitu timur – barat – utara – selatan. Hal ini bermakna sebelum memulai tentukan lebih dahulu arah di mana engkau berangkat agar tidak tersasar kemudian.
Sedangkan walasuji berarti sejenis pagar bambu yang biasa digunakan pada acara ritual Bugis-Makassar. Wala artinya pagar dan batasan, sedang Suji artinya gadis yang disimbolkan sesuatu yang harus dijaga.
Aksara Lontara terdiri dari 23 huruf untuk Lontara’ Bugis dan 19 huruf untuk Lontara’ Makassar. Selain itu, perbedaan Lontara Bugis dengan Lontara’ Makassar yaitu pada Lontara Bugis dikenal huruf ngka’, mpa’ , nca’, dan nra’ sedangkan pada Lontara Makassar huruf tersebut tidak ada.
Para leluhur Bugis pun memberikan nasihat kepada anak cucunya yang hendak merantau dengan aksara lontara. Nasihat ini berpesan mengenai empat hal tentang kekayaan dan kesuksesan.
Bahwasanya, Engkau bersiap-siap meninggalkan negerimu menuju ke sebuah negeri yang lain. Semoga engkau menjadi orang kaya dan sejahtera di negeri orang.
Pahamilah dengan baik bahwa kaya itu memiliki empat tanda-tanda, yaitu:
* Pertama-tama, kaya dalam berbahasa dan berkomunikasi,
* Kedua, kaya dalam pemikiran dan imajinasi,
* Ketiga, kaya dalam dunia usaha (memiliki banyak keahlian dan relasi bisnis), dan
* Keempat, kaya dalam keuangan.

Demikian indah filosofi yang terkandung dalam aksara lontara’ di mana para leluhur telah menyiapkan segalanya untuk kita pergunakan di masa sekarang.
Mereka para leluhur dengan keterbatasan peralatan yang dimiliki pada masanya tapi mampu menciptakan teknologi yang tak lekang masa. Begitu tingginya ilmu para pendahulu dan semuanya untuk kita saat ini.
Pendahulu kita tidak sekadar menyebar pengetahuan tetapi ia menebar ilmu. Namun ilmu tanpa dasar pengetahuan akan menjadi keropos akan tetapi bagaimana meramu pengetahuan menjadi sebuah ilmu. Dan ilmu dalam bahasa Bugis disebut Esse.