Senin, 30 Maret 2020

Empati Pada Paramedis Korona: Cerpenfiksi

"Mbak, kamu kerja jadi perawat di rumah sakit A kan ya?" Tegur Bu Sumi, ibu kos ku, saat aku melewati lorong rumahnya menuju kamar kos.

Aku menghentikan langkah, kemudian berjalan  mendekat ke Bu Sumi. Hal itu tentu memperpendek jarak di antara kami, tapi Bu Sumi melangkah mundur.

"Iya bu. Kenapa ya?" 

"Jangan mendekat. Di situ aja kamunya." Mata beliau mengintervensiku agar tak mendekatinya. 

Aku menangkap suatu yang tidak baik akan menimpaku. 

"Tolong pindah dari kosan saya malam ini juga ya!"

"Maksudnya?" Aku mendadak bingung dengan pernyataan Bu Sumi. 

"Tapi bu, saya khan baru bayar kosan untuk enam bulan ke depan minggu lalu?" Aku berusaha mencoba tenang dan tidak panik. 

"Saya sudah transfer balik ke rekeningmu tadi." 

Jadi sms banking tadi siang itu transferan dari Bu Sumi. 

"Ya Allah Bu.. Ini sudah malam. Saya harus tinggal dimana kalau saya harus pindah saat ini juga." 

"Saya gak peduli, nginap saja di hotel. Yang jelas segera kemasi barang-barangmu dan pergi secepatnya."

"Kalau besok pagi bagaimana bu, saya sudah lelah sekali ini bu." Aku mencoba memelas, mengharap belas kasihan. Tubuhku sudah sangat lelah karena bekerja dari shift pagi dan lembur sampai malam. Sedang sebelumnya dapat shift malam. Tubuhku rasanya remuk redam. Membayangkan harus berkemas dan mencari tempat menginap lain. Oh tidak. 

"Tidak boleh, harus malam ini juga. Lagipula barang-barangmu tak terlalu banyak." Bu Sumi tetap pada pendiriannya. 

"Allah ya rabb ...." batinku.

"Saya tungguin kamu sampai selesai berkemas dan pergi dari sini." 

Aku menatap netra Bu Sumi, mencoba mencari celah belas kasih untukku, tapi nihil. 

***

Kubuka pintu  kamar dan menatap isinya. Memang benar barangku tidak begitu banyak. Setelah menghela nafas kasar, aku mulai mengemasi barangku. 

[Re, bisa nginep di kosanmu gak malam ini. Aku diusir ibu kosku.] Ku kirim pesan melalui aplikasi warna hijau. 

Lima menit kemudian. 

[Maaf Sa, aku lagi gak di kosan. Pulang kampung. Kunci kamar aku bawa.]

Pupus sudah harapanku untuk sekedar menumpang tidur malam ini. 

Mau tidak mau aku harus mencari penginapan murah untuk berteduh malam ini. 

Selesai mengemasi barang, aku berpamitan dengan penghuni kos yang lain, meski dengan jarak yang agak jauh. Dan terakhir berpamitan pada Bu Sumi. 

Aku mengerti mereka takut tertular virus karena aku bekerja sebagai perawat di salah satu  rumah sakit rujukan pasien Corona. Tapi aku tidak menyangka akan mendapatkan pengusiran seperti ini. Seperti nasib teman sejawatku yang belum lama ini juga diusir dari kosannya. 

"Ya Allah, berilah jalan keluar untuk hamba." Batinku berdoa. 

***

Sudah empat hari aku menginap di penginapan. Setiap mencari kamar kos selalu kudapatkan hasil yang sama setelah mereka tahu profesiku, penolakan dengan berbagai alasan. Hanya beberapa yang terang-terangan menolakku karena aku bekerja di rumah sakit rujukan pasien Corona.

"Heh kok ngelamun, dipakai dulu itu APD-nya." Kata Widya. Teman yang kugantikan shiftnya malam ini. 

"Iya ini, aku belum dapat kosan. Uangku menipis jika terus-terusan tinggal di penginapan itu." Dengan berat hati aku menceritakan bebanku. Ah entah, mungkin saja nanti aku dapat solusinya. 

"Astaghfirullah Sa, aku lupa ngasih tahu kamu. Tadi sore ada pengumuman, bagi yang kesulitan mengenai tempat tinggal bisa daftar buat tinggal di tempat yang disediakan oleh pemprov."

"Serius lu Wid?" Aku setengah tak percaya. 

"Seriuslah. Dan kamu tahu tempat tinggalnya di mana coba?" 

" Di mana?" Tanyaku penasaran. 

"Hotel Grand Cempaka." 

"Hotel yang bagus milik BUMD itu?" Aku terkejut mendengarnya. 

"Iya. Sudah sama daftar dulu ke Pak Arif. Biar diurusin administrasinya sama beliau."

"Iya ..., iya Wid, sebentar ya, aku daftar dulu." 

***

Tiga hari setelah mendaftar di Pak Arif, aku mendapatkan pemberitahuan bahwa aku masuk dalam tenaga kesehatan yang akan menempati tempat tinggal sementara, di Hotel Grand Cempaka.

Alhamdulillah. Alhamdulillah ya Allah. Aku segera sujud syukur. 

Terharu. 

Ternyata ada orang yang peduli pada nasib kami, para tenaga kesehatan yang terusir atau yang bertempat tinggal jauh dari rumah sakit tempat kami bekerja. 

Masya Allah. Allah memberikan jalan keluar dari masalah yang aku hadapi saat ini. Tidak perlu lagi sakit hati karena mendapatkan penolakan. 

***

Hari ini hari di mana kami diantarkan ke hotel. Pak Anis menyambut kehadiran kami di lobi hotel. Memberikan kata sambutan dan  semangat yang berdampak positif untuk kami. 

Beliau menjelaskan pada kami mengenai fasilitas yang akan kami terima di hotel ini. Selain kamar tentunya. Fasilitas itu antara lain akan ada bis antar jemput dari hotel ke rumah sakit dan sebaliknya. Lalu kami juga akan mendapatkan asupan bergizi mulai dari makanan katering dan minuman seperti susu. Gratis! Tanpa sepeserpun kami bayar.

Masya Allah.

Kami pun akhirnya menempati kamar kami masing-masing. Satu kamar untuk berdua. Di dalam meja kamar, kami temukan surat berlogo keemasan di sampulnya. 

Isi suratnya tertulis, 

Jakarta, 26 Maret 2020

Terima kasih kami kepada pejuang kemanusiaan



Assalamualikum wr wb dan salam sejahtera

Ibu, bapak, dan rekan-rekan yang saya banggakan. Atas nama seluruh warga Jakarta ijinkanlah saya mengucapkan terimakasih yang tak terhingga untuk segala pengorbanan dan keikhlasan Ibu, bapak, dan rekan-rekan telah berjuang turun tangan melayani warga Jakarta menjalani masa yang sulit. Perjuangan yang sangat mulia yang penuh tantangan dan risiko

Perjuangan inilah yang menguatkan harapan bahwa Insya Allah kita akan dapat segera melewati masa penuh cobaan ini.

Pada ibu, bapak, dan rekan-rekan semua, kami di Pemprov DKI Jakarta dan atas nama seluruh warganya menyampaikan rasa hormat, mengirimkan dukungan penuh dan tetap terus mendoakan.

Mohon sampaikan salam hormat kami pada keluarga di rumah, katakan pada mereka Jakarta bangga pada ibu, bapak, dan rekan-rekan semua.

Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan serta tetap memberikan kesehatan, kekuatan, dan kesabaran pada ibu, bapak, dan rekan-rekan dalam menuntaskan misi mulia ini

Wassalam

Anis B.

Masya Allah, air mataku tak terasa mengalir di pipi. Surat sederhana ini mampu memberikan oase di dalam rasa lelah, takut dan stres. 

Entah harus berkata apa lagi. Terima kasih pak, sudah memikirkan nasib kami, para tenaga kesehatan yang menjadi garda depan dalam melawan virus Corona. 

Sekali lagi, terima kasih pak. 

*Note: isi surat diperoleh dari FB Bapak Anies Baswedan. Cerpen ini terinspirasi dari kepedulian beliau terhadap para nakes garda depan melawan virus Corona. Salut!.

Tidak ada komentar:

POSTINGAN UNGGULAN

Perbedaan Zakat dan Pajak Versi Si Fulan

Guru Bertanya Kepada Muridnya ... "Apa Bedanya ZAKAT dengan PAJAK ?". Murid menjawab dgn bijak : " Zakat adalah H...