Kamis, 14 Juni 2018

Lebaran: Lubang Jarum Konsumerisme

Sentilan di ujung ramadhan
***
(copas tulisan) 

Amin praktis bekerja 24 jam. Ia tinggal di kamar supir, yang berada dalam rumah majikannya. Ia harus stand-by setiap saat. Aku tidak tahu berapa kali sebulan ia mengunjugi istri dan anak-anaknya. Jelas sekali ia hampir tidak punya waktu untuk berkumpul bersama keluarga. Karena itu, jangan tanya betapa sumringahnya Min ketika ia pamit untuk mudik. Bukan karena di kantongnya ada THR. Bukan karena ia dibebaskan dari perintah tuan dan nyonya untuk sementara waktu. Ia ceria karena ia bisa meluangkan waktu khusus untuk orang-orang yang disayanginya.


Tuan dan Nyonya tampaknya tidak begitu gembira. Mereka kehilangan supirnya, setelah lebih dahulu pusing karena ditinggalkan para pembantunya. Kepada mereka harus kita katakan, bila mereka ingin bahagia mereka harus mengubah jeruk asam menjadi jeruk manis. Carilah blessing in diguisedalam “musibat” Lebaran. Karena Tuan dan Nyonya tidak punya supir, mereka akan terpaksa tinggal di rumah. Seperti Min, karena kesibukan kerja atau dikerjain, selama ini mereka hampir tidak punya waktu untuk keluarga. Tuan dan Nyonya jarang bertemu. Orangtua jarang berbincang dengan anak-anaknya. Setiap anggota keluarga sibuk dengan dunianya masing-masing. Karena Lebaran, Min balik ke kampungnya, dengan sukarela. Karena Lebaran juga, semua anggota keluarga majikannya pun pulang, dengan terpaksa.

Reuni keluarga adalah salah satu berkah Lebaran. Baik Min maupun majikannya sepanjang tahun telah mengorbankan keluarganya pada altar konsumerisme. Ketika Min meninggalkan kampung halamannya dan ketika Tuan menyelesaikan studinya di luar negeri, mereka didorong masuk ke dalam pusaran angin kapitalisme internasional. Mereka berubah wujud menjadi –apa yang disebut Erich Fromm- homo consumens. “Sebagai manusia, kita tidak punya tujuan kecuali memproduksi dan mengkonsumsi terus-menerus,” kata Fromm.

Boleh jadi kita punya tujuan untuk membangun keluarga yang bahagia. Tapi kebahagiaan keluarga diukur dari jumlah barang yang kita konsumsi. Tampaknya kita ingin memberikan masa depan yang indah bagi anak-anak. Tapi keindahan masa depan mereka diukur dari banyaknya uang yang mereka miliki. Kelihatannya kita berjuang untuk menegakkan ajaran agama. Tapi tegaknya ajaran Tuhan dilihat dari jumlah penghasilan dari kegiatan dakwah kita. Atau kita bercita-cita untuk membangun bangsa ini. Tapi ukuran keberhasilan pembangunan ialah jumlah jalan tol, pusat perbelanjaan, dan tempat-tempat hiburan.

Sebagai homo consumens kita menghabiskan waktu lebih banyak di tempat-tempat produksi dan konsumsi barang dan jasa, daripada dalam lembaga-lembaga sosial. Kita lebih sering berkunjung ke pusat perbelanjaan daripada rumah ibadat. Kita lebih banyak berada di tempat kerja daripada di rumah sendiri. Kita lebih sibuk mengurus transaksi bisnis daripada bercanda ria dengan keluarga. Orang-orang kaya pun –penguasa dan pengusaha- lebih banyak mengeluarkan uang untuk membangun mal daripada sekolah.

Hasrat konsumsi, “rage to consume” (Marshall Sahlins), mendorong kita untuk membeli dan membeli. Kita mencari kebahagiaan dalam membeli. Kita menyebut orang baik kepada orang yang membeli barang dan jasa yang baik; bukan pada orang yang bekerja dengan baik. Menurut Daniel Bell, kita sudah mengganti work ethic dengan consumer ethic. Pahlawan yang dielu-elukan di zaman ini dan gambarnya dipajang di mana-mana adalah “heroes of consumption”, bukan “heroes of production”.

Menurut salah satu nubuwat Nabi Muhammad, “Akan datang suatu zaman ketika manusia menyembah dinar (uang). Mereka bekerja keras pagi dan sore untuk mendapatkan uang.” Uang, dalam bahasa Marx, telah menjadi fetish, benda mati yang mempunyai kekuatan supranatural. Uang menjadi ukuran derajat manusia. Manusia yang paling mulia ialah yang paling banyak uangnya. Dengan uang, mereka bisa terlibat dengan aktif dalam budaya konsumerisme.

Jadi konsumerisme itu sebuah agama. Iklan adalah kitab sucinya. Mal-mal rumah ibadatnya, dan kaum kapitalis orang-orang sucinya. Apa bedanya Al-Quran dengan iklan? Al-Quran dibaca dengan cepat, iklan diikuti dengan khusyuk. Al-Quran mendatangkan ketentraman, iklan membina kekecewaan. “Tujuan iklan,” kata Robert E Lane dalam The Loss of Happiness in Market Democracy, “ ialah menciptakan bukan kepuasan, tetapi kekecewaan, termasuk kecewa terhadap diri sendiri.”

Anda akan merasa puas dengan apa yang Anda punyai, selama Anda tidak dibandingkan dengan orang yang memiliki apa yang tidak Anda punyai. Anda sudah cukup bahagia dengan mobil tua Anda, sampai di depan muka Anda diperlihatkan gemerlap mobil baru. Dengan jeratan psikologis, iklan menambah penderitaan Anda dengan menegaskan bahwa Anda terhina karena tidak punya mobil baru. “Anda pecundang tanpa mobil baru”.

Tugas iklan memang membuat Anda kecewa dengan kehidupan Anda sekarang ini. Anda didorong untuk bergairah membeli. Iklan dirancang tidak untuk memenuhi kebutuhan tetapi untuk menciptakan kebutuhan. Ketika kebutuhan baru muncul, Anda harus bekerja lebih keras. Sekarang Anda harus mengambil banyak waktu untuk bekerja. Di antara waktu yang disita untuk pekerjaan Anda adalah waktu untuk kegiatan-kegiatan sosial, termasuk berkumpul dengan keluarga. Bernard de Mandeville berkata, “Kemewahan telah mempekerjakan jutaan orang miskin. Kesombongan memperkejakan jutaan orang lebih banyak lagi. Irihati dan kesombongan adalah duta-duta industri”.

Semua agama mengharamkan kedengkian dan kepongahan. Konsumerisme mewajibkannya. Semua agama membentuk manusia yang berkhidmat kepada manusia yang lain, bersikap rendah hati, dan mendahulukan kepentingan orang lain. Konsumerisme mendidik Anda untuk menjadi egois, narsisis, dan mementingkan diri sendiri.

Perlahan-lahan tapi pasti, Min dan majikannya, dan kita semua menjadi kita seperti sekarang ini. Kita memandang semua makhluk Tuhan sebagai instrumen untuk melayani kebutuhan kita. Kita tidak berpikir bagaimana bisa bermanfaat bagi orang lain. Kita memutar otak bagaimana bisa memanfaatkan orang lain.

Apa yang diperoleh kaum pemilik modal? Uang yang lebih banyak. Apa yang kita peroleh? Kita kehilangan kehangatan dalam pergaulan dengan orang-orang penting di sekitar kita. Kita kehilangan kepercayaan dan cinta kasih. Kita tidak bisa percaya dan orang pun tidak percaya kepada kita. Kita tidak bisa menyayangi, karena itu juga tidak disayangi. Akhirnya, seperti kata Robert E Lane, kita kehilangan kebahagiaan dalam demokrasi pasar.

Robert Lane berbicara tentang penderitaan semua masyarakat demokratis kapitalis. Untuk bangsa Indonesia, kita harus menambah penderitaan kita karena penindasan yang dilakukan oleh para pemimpin kita. Di Amerika, betapa pun kapitalisnya, orang-orang yang menganggur dapat “unemployment check”, gaji secukupnya untuk sekedar tetap hidup. Di Jerman, betapa pun kapitalisnya, orang-orang sakit dapat perawatan kesehatan gratis. Di negara-negara kapitalis lainnya, betapa pun menindasnya para pemilik modal, rakyat kecil bisa makan kenyang, memperoleh pendidikan yang berkualitas, mendapat tunjangan pada masa tuanya. Pajak yang mereka bayar kembali lagi pada mereka.

Rakyat Indonesia telah kehilangan kebahagiaannya dalam masyarakat industri. Tapi mereka juga harus menanggung beban tambahan. Mestinya bangsa ini sudah gila semua. Mengapa tidak? Karena ada Lebaran. Pada hari itu mereka kembali kepada keluarganya, budayanya, nilai-nilai tradisionalnya dan agamanya. Maka Min pun gembira ketika memeluk anak-anaknya. Dan majikannya pun tertawa-tawa di tengah-tengah keluarganya.

Tidak ada komentar:

POSTINGAN UNGGULAN

Perbedaan Zakat dan Pajak Versi Si Fulan

Guru Bertanya Kepada Muridnya ... "Apa Bedanya ZAKAT dengan PAJAK ?". Murid menjawab dgn bijak : " Zakat adalah H...