Prolog
Siri’ yang merupakan konsep kesadaran hukum dan falsafah masyarakat
Bugis-Makassar adalah sesuatu yang dianggap sacral. Begitu sakralnya
kata itu, sehingga apabila seseorang kehilangan Siri’nya atau De’ni gaga
Siri’na, maka tak ada lagi artinya dia menempuh kehidupan sebagai
manusia. Bahkan orang Bugis-Makassar berpendapat kalau mereka itu
sirupai olo’ kolo’e (seperti binatang). Petuah Bugis berkata : Siri’mi
Narituo (karena malu kita hidup). Untuk orang bugis makassar, tidak ada
tujuan atau alasan hidup yang lebih tinggi daripada menjaga Siri’nya,
dan kalau mereka tersinggung atau dipermalukan (Nipakasiri’) mereka
lebih senang mati dengan perkelahian untuk memulihkan Siri’nya dari pada
hidup tanpa Siri’.
Nilai Siri’ orang Bugis dan Makassar juga sangat mirip dengan
semangat Bushido kaum Samurai Jepang. Kedua nilai tersebut mulai
ditinggalkan namun dengan tingkat emosi berbeda. Jepang dengan
harakirinya memiliki fislosofi rasa malu harus berakhir dengan kematian
di tangan sendiri. Ini berbeda dengan Siri’ dari bugis-makassar yang
berarti tidak selamanya harus mati, tapi masalah itu harus tuntas
setunta tuntasnya, tidak ada kata pasrah, justru merekapun menganggap
mati berarti pasrah dan tak mampu lagi mengatasi masalah. Dan tentunya
karena latar belakang Religius maka hal tersebut tidak diperbolehkan.
Siri’ adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan
martabat manusia, rasa dendam ( dalam hal-hal yang berkaitan dengan
kerangka pemulihan harga diri yang dipermalukan ). Jadi Siri’ adalah
sesuatu yang tabu bagi masyarakat Bugis-Makassar dalam interaksi dengan
orang lain.
Telah diiuraikan dalam lontara masyarakat bugis Makassar terdahulu
yang telah diwariskan kepada masyarakat masa kini bahwa watak atau
falsafah hidup yang dipegangi oleh masyarakat bugis Makassar itu
sebagaimana tergambarkan sebagai berikut:
– “Aja mupakasiriwi, matei tu” (janganlah dipermalukan dia, sebab dia akan lebih memilih mati daripada dipermalukan)
– “Aja mullebbaiwi, nabokoiko tu” (janganlah kecewakan dia, sebab bila dia dikecewakan pasti dia akan meninggalkan anda)
Hal tersebut diatas adalah memiliki hubungan yang sangat erat dengan prinsip orang-orang bugis Makassar, antara lain: “Iamua narisappa warangparange, nasaba’ rialai pallawasiri’ narekko siri’ ba’na lao, sungenatu naranreng” (sesungguhnya
harta benda sengaja dicari dan disediakan untuk menutup malu. Jika kita
dipermalukan, maka harta tak ada gunanya lagi, tetapi yang akan bicara
adalah nyawa/mayat). Hal ini diperjelas lagi oleh ungkapan untuk seorang
perempuan bugis bila dia dikecewakan oleh suaminya yang artinya dalam
bahasa Indonesia adalah : “ kecintaanku yang tulus dan ikhlas kepadamu
bagaikan benteng kokoh, namun ia dapat dirobohkan oleh rasa kecewa yang
timbul”
Jadi, proses kepribadian yang menjiwai orang bugis Makassar yakni :
jangan dipermalukan. Sebab ia akan lebih baik memilh mati daripada
dipermalukan, kemudian jangan sampai ia di hina serta jangan sampai ia
dikecewakan karena pasti akan meninggalkan anda.
Siri’ sebagai Falsafah Masyarakat Bugis Makassar
Layaknya sebuah tradisi, maka secara turun temurun ini akan menjadi
pegangan serta pedoman. Bila mana pada suatu generasi penafsirannya
meleset, maka akan berdampak ke generasi berikutnya. Jika terjadi
disintegrasi terhadap penafsiran tentang nilai Siri’ ini, maka tentunya
akan berdampak kepada kelanjutan eksistensi falsafah kepada generasi
yang akan datang, inilah yang menjadi salah satu kekhawatiran banyak
pihak termasuk saya pribadi sehingga harus di luruskan agar kedepannya
ini tetap bisa menjadi pedoman, pegangan serta cii khas masyarakat
Bugis-Makassar kedepannya.
Dasar falsafah hidup yang menjiwai dan menjadi pegangan orang-orang
bugis Makassar untuk senantiasa hidup baik di negeri sendiri atau negeri
orang lain adalah menjadi manusia yang perkasa dalam menjalani
kehidupan. Setiap manusia keturuna bugis Makassar dituntut harus
memiliki keberanian, pantang menyerah menghadapi lawan ataupun ujian
hidup. Itulah sebabnya maka setiap orang yang mengaku sebagai orang
bugis Makassar memiliki orientasi ke arah delapan penjuru mata angin,
yakni mampu menghadapi apapun.
Hakekat prinsip tersebut bersumber pada leluhur nenek moyang orang bugis Makassar yang tersimpul dengan “duai temmallaiseng, tellui temmasarang” ( dua bahagian yang tak terpisahkan dan tiga bahagian yang tak terceraikan)
Nilai siri’ dapat dipandang sebagai suatu konsep cultural yang
memberikan impact aplikasi terhadap segenap tingkah laku nyata. Tingkah
laku itu dapat diamati sebgai pernyataan ataupun perwujudan kehidupan
masyarakat bugis Makassar.
Apabila kita mengamati pernyataan-pernyataan dari nilai siri’ ini
atau lebih konkritnya mengamati kejadian-kejadiannya berupa
tindakan,perbuatan atau tingkah laku yang katanya dimotivasi oleh siri’
maka akan timbul kesan bahwa nilai siri’ itu pada bagian terbesar
unsurnya dibangun oleh perasaan, sentimentality oleh emosi dan
sejenisnya. Kemudian penafsiran yang berpijak kepada melihat
kejadian-kejadian yang timbul akibat penafsiran siri’, misalnya:
malu-malu, aib, iri hati, kehormatan dan harga diri, dan kesusilaan.
Cara melihat seperti ini jelas merupakan sebuah cara pandang yang kurang
lengkap terutama apabila hendak mengamatinya dari sudut konfigurasi
kebudayaan. Sebab hal tersebut merupakan sebuah nilai yang bukan hanya
sebuah nilai kebudayaan akan tetapi juga merupakan sebuah nilai/falsafah
hidup manusia.
Kemudian, hakikat kebenaran dari falsafah inilah yang mulai surut
dalam setiap tingkah laku maupun tindakan kolektif masyarakat Bugis –
Makassar. Sebagai seorang putera Bugis asli, disintegrasi semacam ini
sudah lama terlihat oleh mata kepala sendiri. Bagaimana rasa malu yang
tidak ditempatkan pada tempat semestinya, mendahulukan rasa amarah
ketimbang sikap rasional dalam memahami suatu permasalahan. Jika kita
berkaca pada peristiwa peristiwa yang terjadi di Provinsi
Sulawesi-Selatan. Mulai dari demonstrasi yang selalu berakhir dengan
chaos, sampai kepada prilaku bermasyarakat yang mulai berujung kepada
konflik konflik. Distintegrasi seperti inilah yang kemudian berpotensi
untuk melahirkan ketidakstabilan dalam kehidupan sosil bermasyarakat
dimasa yang akan datang.
Kemudian, apabila kita ingin mendalami makna siri’ dengan segenap permasalahannya, antara lain dapat diketahui dari lontara La Toa.
Dimana dalam lontara ini berisi pesan-pesan dan nasehat-nasehat yang
merupakn kumpulan petuah untuk dijadikan sebagai suri teladan. Kata La Toa
sendiri sejatinya memiliki arti petuah-petuah yang dimana juga memilki
hubungan yang erat dengan peranan siri’ dalm pola hidup atau adat
istiadat orang bugis Makassar (sebuah falsafah hidup). Misalnya dapat
kita lihat beberapa point dalam lontara tersebut :
– Siri’ sebagai harga diri ataupun kehormatan
– Mapappakasiri’ artinya dinodai kehormatannya
– Ritaroang Siri’ yang artinya ditegakkan kehormatannya
– Passampo Siri’ yang artinya penutup malu
– Siri’ sebagi perwujudan sikap tegas demi sebuah kehormatan hidup.
Kata siri dapat juga diartikan sebagai pernyataan sikap yang tidak
serakah dan sebagai sebuah pendirian (prinsip hidup) didaerah bugis
Makassar. Ungkapan-ungkapan seperti : siri’ na ranreng (siri’
dipertaruhkan demi kehormatan), palaloi siri’nu (tantang bagi orang yag
melawanmu/mempermalukanmu), tau de’ siri’na (orang tak memiliki malu tak
memiliki harga diri) merupakan semboyan-semboyan falsafah hidup
orang-orang bugis Makassar.
Bahkan berbagai petuah-petuah yang kesemuanya tergambar dalam La Toa
memiliki nilai sastra yang sangat tinggi sebab disusun oleh pujangga
yang terbaik di zamannya. Karenanya dapat disimpulkan bahwa kata
silariang ( minggat) adalah salah satu aspek daripada siri’ tersebut.
Juga sangat erat hubungannya dengan harga diri dalam artian yang luas (
aspek-aspek identitas keagungan pribadi bangsa pemiliknya. Selain itu,
siri’ dalam falsafah hidup orang bugis Makassar juga mengandung
nilai-nilai kehormatan atau kebanggaan serta sebagai sebuah identitas
orang-orang bugis Makassar.
Ungkapan-ungkapan sikap-sikap orang-orang bugis Makassar yang
termanifestasikan lewat kata-kata : taro ada’ taro gau (satu kata satu
perbuatan), merupakan tekad atau cita-cita dan janji yang telah di
ucapkan pastilah dipenuhi dan dibuktikan dalam perbuatan nyata. Hal
tersebut juga sejalan dengan prinsip-prinsip abattireng ripolipukku (asal usul leluhur senantiasa di junjung tinggi, semuanya ku abadikan demi keagungan leluhurku).
Kemudian satu hal yang perlu diperhatikan disini yakni manakala harga
diri orang-orang bugis Makassar tersebut disinggung yang karena hal
tersebut melahirkan aspek-aspek siri’, maka diwajibkan bagi yang terkena
siri’ itu untuk melakukan aksi tantangan. Hal tersebut dapat berupa
aksi perlawanan perorangan ataupun aksi perlawanan secara berkelompok.
Tergantung nilai siri’ yang timbul dari ekses-ekses kasus yang lahir
tersebut. Sehingga bagi pihak yang terkena siri’ kemudian bersikap
bungkam tanpa ada perlawanan maka akan dijuluki sebagi oaring yang tak
punya rasa malu (tau tena siri’na).
Dengan demikian, dapatlah dibayangkan betapa besar pengaruh
nilai-nilai siri’ itu bagi sikap dan falsafah hidup bagi orang-orang
bugis Makassar pada umumnya.
Kemudian, perlu juga dipaparkan disini bahwa pada zaman dahulu
masalah-masalah siri’ yang timbul kebanyakan penyelesaiannya harus
dibayar dengan bergelimpangan mayat atau dengan kata lain dibayar dengan
pertumpahan darah. Yakni dengan menumpahkan darah orang yang menjadi
sumber adanya siri’ tersebut sebagai tebusannya.
Betapa tinggi nilai dan arti siri’ ini bagi orang-orang suku bugis
Makassar, sebagaimaa apa yang telah di uraikan diatas. Dimana secara
garis besar dapat kita tarik sebuah benang merah berdasarkan
analisa-analisa diatas bahwa sesungguhnya peranan siri’ yang telah
menjadi alam bawah sadar masyarakat bugis Makassar ini merupakan nilai
falsafah dan sikap yang menjadi perwujudan dari manusia bugis Makassar.
Jenis-jenis Siri’
Zainal Abidin Farid membagi siri’ dalam masyarakat bugis Makassar menjadi dua jenis:
– Siri’ Nipakasiri’, yang terjadi bilamana
seseorang dihina atau diperlakukan di luar batas kemanusiaan. Maka ia
(atau keluarganya bila ia sendiri tidak mampu) harus menegakkan Siri’nya
untuk mengembalikan Dignity yang telah dirampas sebelumnya. Jika tidak
ia akan disebut mate siri (mati harkat dan martabatnya sebagai manusia).
“ Untuk orang bugis makassar, tidak ada tujuan atau alasan hidup yang
lebih tinggi daripada menjaga Siri’nya, dan kalau mereka tersinggung atau dipermalukan (Nipakasiri’) mereka lebih senang mati dengan perkelahian untuk memulihkan Siri’nya dari pada hidup tanpa Siri’.
Mereka terkenal dimana-mana di Indonesia dengan mudah suka berkelahi
kalau merasa dipermalukan yaitu kalau diperlakukan tidak sesuai dengan
derajatnya. Meninggal karena Siri’ disebut Mate nigollai, mate
nisantangngi artinya mati diberi gula dan santan atau mati secara manis
dan gurih atau mati untuk sesuatu yang berguna.
Akan tetapi kita harus mengerti bahwa Siri’ itu tidak bersifat menentang saja tetapi juga merupakan perasaan halus dan suci… Seseorang yang tidak mendengarkan orangtuanya kurang Siri’nya. Seorang yang suka mencuri, atau yang tiodak beragama, atau tidak tahu sopan santun semua kurang Siri’nya”.
– Siri’ Masiri’, yaitu pandangan hidup
yang bermaksud untuk mempertahankan, meningkatkan atau mencapai suatu
prestasi yang dilakukan dengan sekuat tenaga dan segala jerih payah demi
Siri’ itu sendiri, demi Siri’ keluarga dan kelompok.
Ada ungkapan bugis “Narekko sompe’ko, aja’ muancaji ana’guru, ancaji
Punggawako” (Kalau kamu pergi merantau janganlah menjadi anak buah, tapi
berjuanglah untuk menjadi pemimpin).
Siri’ Sebagai Sumber Nilai Motivasi
Apa yang mendorong seorang masyarakat bugis Makassar untuk pada suatu
ketika dalam hidupnya melakukan sesuatu yang nekad, memilih menyerahkan
milik hidupnya yang terakhir yakni nyawa, kemudian acap kali
dikembalikan pada konsep yang dinamakan sebagai siri’. Ia rela
mengorbankan apa saja demi tegaknya yang namanya siri’. Katakanlah itu
sebuah suatu kesadaran tentang nilai martabat yang didukung oleh
tiap-tiap orang dalam tradisi kehidupan masyarakat bugis Makassar.
Ada berbagai ungkapan dalam lontara bugis Makassar yang menunjukkan
bahwa siri’ bukanlah sebuah sikap yang semata-mata berpangkal dari
luapan emosi. Seperti anak negeri terhina tanpa sebab musabab yang jelas
berarti siri’ (martabat) negeri ternoda. Dari sini timbul sebuah
kesadaran untuk menghasilkan sebuah pemikiran yang rasional dalm
menanggulangi hal-hal yang menyebabkan terjadinya siri’ tersebut. Karena
masing-masing orang memiliki nilai siri’ yang sepadan sebagai sebuah
nilai hidup bermasyarakat.
Sungguh suatu kebijaksanaan jika kita mencoba mengaitkan nilai-nilai
falsafah siri yang ada di masa silam dengan dengan masa kini dengan
jalan mentransformasikan nilai-nilai zaman lalu itu ke masa kini agar
kita memiliki sebuah akar pertumbuhan yang membumi,. Artinya berpijak
pada realitasnya sendiri menuju masa depan dengan kepribadian yag kuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar