Sabtu, 26 Agustus 2023

KEJUJURAN = KEHORMATAN


Suatu ketika si sulung pulang sekolah sambil menangis. Gurat kesedihan begitu jelas terlihat dari parasnya. Saat saya bertanya, dia menjawab sambil terisak.

"Ma, tadi ulangan aku dapat nilai 90."

"90 itu sudah hebat, Sayang. Amazing. Lalu apa yang membuatmu bersedih?"

"Sebagian teman-teman sekelas mendapat nilai 100," lirihnya sambil tertunduk.

"Oh, karena itu. Nggak apa-apa, Nak. Meski Kakak biasa mendapat nilai terbaik di kelas, tapi bisa jadi suatu saat teman-teman bisa mendapat nilai lebih bagus karena mereka lebih  rajin  belajar hingga bisa menguasai materi. Its okay, Nak. Mau mendapat nilai berapapun, buat mama--kakak tetap terbaik " jawabku. Si bocah mengangkat wajahnya, menatapku sesaat. Ada kilatan amarah di sepasang mata bulat besarnya. Hmmm, saya merasa ini tak sesederhana yang saya pikir.

"Ma, kalau seperti itu--aku bisa terima. Tapi mereka mendapat nilai 100 karena mencontek. Setelah memberi soal, gurunya keluar kelas, lama. Saat itu teman-teman pada buka buku, nyontek semua. Aku sudah tegur, tapi mereka mengejek," ujarnya kesal.

"Kenapa kakak tak ingin melakukan hal yang sama?" tanyaku sambil tersenyum. Pertanyaan ini sengaja kuberikan, jawaban si bocah pun saya sudah bisa menebaknya.

"Enggak! Kata mama, meski guru tak melihatnya tapi Allah lihat. Mama sering bilang lebih baik aku dapat nilai 5 dari hasil kejujuran daripada mendapat nilai 100 tapi hasil curian."

"Nah, itu kakak pintar. Nak, tahu nggak? Apakah yang tak bisa dibeli dengan uang? Salah satunya adalah kejujuran. Orang yang menjunjung tinggi kejujuran, artinya ia sedang menjunjung tinggi kehormatannya. Boleh nilai kakak di mata guru tidak menjadi yang terbaik, namun--di mata Allah, kamu yang terbaik. Lebih penting mana? Puja puji manusia yang menyesatkan atau hati yang tenang karena bisa menjunjung kehormatan dan tak berbuat curang. Bagi mama, kamu sangat hebat, Nak. Cukup dengan kakak menegur perbuatan salah teman, cukup sampai di situ. Tentang bagaimana respon mereka, maka itu bukan kapasitas kamu lagi. Fokus pada diri sendiri saja. Berapapun nilaimu, kamu tetaplah hebat sesuai versi terbaikmu, Nak. Jadi, jangan bersedih lagi, ya! Mau dipeluk?" Si bocah terdiam cukup lama sebelum akhirnya mengangguk dan tersenyum. Saat saya memeluknya, saya bisikkan:

"Terima kasih ya, Sayang. Kamu sudah hebat hari ini."

***

Beberapa bulan lalu saat si anak kedua  mengalami kecelakaan yang membuatnya harus menjalani operasi karena fraktur tulang pergelangan tangan kanan, adalah bertepatan dengan ujian kelulusan sekolah menengah pertamanya.

Dengan keadaan tangan kanan yang dipasang pen dan masih bengkak pasca operasi, tak mungkin si bocah dapat memegang pena dan menulis. Maka, atas kebijaksanaan dari pihak sekolah--si bocah diperkenankan untuk mengerjakan ujian sekolahnya dari rumah sakit. Tentu saja dengan bantuan orang lain, sang kakak atau saya selaku ibunya yang selalu menungguinya.

Saat mengirimkan soal ujian via pdf, sang guru berpesan;

"Bu, tolong meski dibantu menuliskan jawaban ujiannya, biar anaknya sendiri yang mengerjakan. Jangan dibantu!"

Saya menjawab dengan tegas.

"Jangan khawatir, Bu. Saya pastikan hasil jawaban ujian atas pemikiran anaknya sendiri. Allah saksinya."

Berapa nilai ujian si bocah? Beragam. Ada yang 90, 80, 85, bahkan di bawah 80 pun ada beberapa. Bisa dibayangkan jika saya atau sang kakak yang mengerjakan, maka nilai murni ujiannya bisa dapat 100 semua.

Kan membanggakan, kalau nilai ujian kelulusan mendapat nilai bagus, bukankah bisa digunakan untuk mendaftar sekolah negri terbaik dengan jalur prestasi?

Iya, benar.
Tapi seumur hidup, sang anak akan mendapat label seorang pecundang meski hanya kami keluarganya yang tahu.

Sehina apapun keadaan kita, paling nggak kita masih memiliki satu hal yang membuat kita masih bernilai di hadapan manusia dan Tuhan. Yaitu kejujuran yang melahirkan kehormatan.

Salam, salim💐

✍ Titin Sudiyono 


Tidak ada komentar:

POSTINGAN UNGGULAN

nnnnn

 nnnnn