Senin, 20 April 2015

(Sentra Informasi dan Data untuk Anti Korupsi (SIDAK)

Tragedi Buah Apel

Oleh: Aris Arif Mundayat

Korupsi di Indonesia bukanlah menurun dari segi kuantitatif baik dari jumlah kasus maupun koruptornya, namun justru semakin bertebaran dihampir semua sektor kehidupan bernegara. Perilaku makin terang-terangan, dan semakin menjijikkan karena para pelaku sama sekali tidak lagi memiliki rasa malu apa lagi bersalah. Mereka seperti tidak menyadari bahwa uang yang mereka korupsi itu berasal dari rakyat yang membayar pajak setiap tahunnya. Pajak tersebut berasal dari retribusi pedagang kecil yang untuk membayar sekolah anak-anaknya pun tak sanggup. Atau dari petani gurem berlahan sempit yang semakin terbebani oleh biaya produksi dan beban pasar yang harus mereka tanggung di tengah persaingan yang makin ketat.



Ironisnya, ditengah situasi yang masih jauh dari sejahtera, para koruptor secara lugas mengkomunikasikan perilaku korupsi mereka seperti meminta hak mereka atas kerja yang telah dilakukannya. Ini adalah kemerosotan moral politik, meskipun mereka masih mencoba menutupinya dengan kata sandi agar tampak seperti bermoral. Meskipun demikian rakyat semakin cerdas dan kata sandi “Apel Malang” dengan mudah untuk membuat orang mampu membaca ke mana arah pembicaraan tersebut.


Kata sandi “Apel Malang” dan “Apel Washington” telah tersebar di berbagai media di Indonesia dan diduga dua kata tersebut berkaitan dengan perilaku korupsi yang dilakukan oleh aktor partai besar. Sehubungan dengan kata “apel”, mari kita membayangkan buah apel dan ulat-ulat pemakan buah yang berasal dari telur lalat buah. Buah apel itu ibaratkan Indonesia yang kaya raya namun dipenuhi oleh lalat buah yang bertelur dipermukaan kulit apel. Ini ibarat, partai-partai yang menelorkan politisi di gedung DPR melalui pemilihan umum yang penuh dengan politik uang. Setelah telur menetas, ulat dari lalat buah yang memerlukan makan menerobos masuk ke dalam daging apel dan memakan daging buah pelahan dari hari ke hari untuk menebus rasa lapar. Ibarat mereka menebus biaya politik yang telah mereka keluarkan selama proses pemilihan umum.


Ulat tersebut jumlahnya ratusan persis jumlah para pejabat partai yang duduk di gedung DPR yang siap meminta apel dari rekanan bisnis mereka. Apel tampak masih utuh dari luar jika kita tak tahu tentang buah apel yang baik, namun di dalamnya terdapat ratusan ulat yang berpesta daging apel dan sekaligus membuang kotorannya di dalam buah apel tersebut. Satu demi satu ulat makin dewasa dan kemudian menjelma menjadi lalat yang terbang mencari posisi. Ibarat seorang tokoh partai yang keluar dari gedung DPRD dan mencari posisi sebagai pejabat partai. Lalat buah tersebut kemudian melakukan kopulasi dengan partnernya dan menghasilkan telur yang sekali lagi ditempelkan ke permukaan buah apel. Persis seperti kaderisasi partai yang berselingkuh dengan pelaku bisnis dan kemudian mereka duduk di dalam gedung DPR untuk menikmati “Apel Malang” atau “Apel Washington”.


Hari demi hari, apel kehilangan daging buahnya, dan apel membusuk karena kotoran ulat di dalam apel ikut mempercepat pembusukan. Ulat-ulat pun telah kekenyangan dan satu demi satu meninggalkan sang buah yang diperebutkan para ulat. Mungkin ini persis orang-orang partai yang berebut “Apel Malang” atau “Apel Washington” hingga system politik modern yaitu Trias Politika yang mencakup lembaga Legislatif, Yudikatif dan Eksekutif mengalami pembusukan. Apel yang tadinya bulat dan menarik untuk dimakan telah membusuk, keriput, dan dibuang ke dalam sampah, dan di dalamnya kadang masih tersisa ulat-ulat yang masih dengan rakusnya menghabisi apel hingga titik daging yang penghabisan. Ini adalah tragedi buah apel, karena ulat-ulat yang tak dapat menahan nafsu untuk membusukkan apel. Dalam kata lain ini adalah tragedy Indonesia yang dipenuhi oleh koruptor.

Tidak ada komentar:

POSTINGAN UNGGULAN

nnnnn

 nnnnn